The Conversation
09 Jul 2025, 02:26 GMT+10
'Sasana Kayau' adalah sastra lisan yang menyimpan sejarah, nilai, dan pengetahuan leluhur Suku Dayak Katingan.
Regenerasi 'Sasana Kayau' lahir dari kedekatan emosional dan pendidikan adat, bukan kurikulum formal.
Pelestarian 'Sasana Kayau' hanya mungkin terjadi jika komunitasnya dihargai sebagai subjek, bukan objek pertunjukan.
Di sebuah kompleks pemakaman di Kalimantan Tengah pada Februari 2019, saya menyaksikan seorang laki-laki duduk bersila dikelilingi belasan orang. Ia menutup matanya, lalu menuturkan bait demi bait Sasana Kayau, sebuah nyanyian sakral yang tidak ditulis di atas kertas, tidak diajarkan lewat buku, dan tidak direkam oleh teknologi apa pun, kecuali tubuh manusia dan ingatan leluhur.
Bayangkan ada orang-orang yang mampu menyanyikan ratusan bait dalam satu malam tanpa teks, notasi, ataupun bantuan alat tulis. Sementara kita bahkan lupa nama lengkap teman lama atau harus googling untuk mengingat suatu informasi.
Di tengah gelombang digitalisasi dan algoritma yang perlahan menggerus memori tubuh dan kolektif, komunitas Suku Dayak Katingan Awa mempertahankan Sasana Kayau sebagai ritual lisan dan suara pengetahuan.
Nyanyian ini bukan hiburan, melainkan ensiklopedia lisan, narasi lintas generasi, dan yang terpenting alat untuk merawat ingatan bersama. Ini adalah bentuk kecerdasan kultural yang hidup dan bervibrasi di hilir Sungai Katingan, Kalimantan Tengah.
Berdasarkan penelitian saya di Desa Tumbang Panggu, Kalimantan Tengah, tahun 2019, 'Sasana' secara harfiah berarti cerita. Sementara 'Kayau', dalam beberapa tafsir, kerap dikaitkan dengan praktik perburuan kepala Suku Dayak di masa lampau.
Namun, masyarakat Katingan Awa menolak tafsir itu. Sasmito, salah satu warga Desa Tumbang Panggu berujar:
"Istilah lengkapnya adalah Sasana Kayau Pulang, yaitu kisah dua saudara, leluhur Desa Tumbang Panggu bernama Kayau dan Pulang yang dipercaya berasal dari wilayah Sungai Tamiang yang sekarang ada di Desa Tumbang Panggu."
Nyanyian ini bukan narasi sembarangan. Indu Er, seorang penutur senior Sasana Kayau mengatakan:
"Untuk menyanyikan Sasana Kayau Pulang, seseorang harus menyebut nama lengkap kisahnya, melakukan ritual permohonan izin kepada leluhur, dan menuturkan kisahnya selama tiga malam berturut-turut."
Jika tidak, kepercayaan setempat menyebut bahwa penyanyi bisa tertimpa tulah-kutukan dari roh leluhur yang tak merestui.
Untuk keperluan penelitian, saya meminta Indu Er menyanyikan Sasana Kayau Pulang. Ia menolak dengan halus karena takut terkena tulah. Ia hanya mau menyanyikannya jika seluruh ritual dipenuhi, termasuk persembahan dan waktu yang tepat.
Ini menjadi pelajaran penting dalam mendokumentasikan warisan budaya. Kita tidak bisa menganggap nyanyian semata sebagai objek data. Ia adalah subjek yang hidup, yang hanya bisa didokumentasikan jika kita bersedia masuk ke dalam ritus, relasi, dan rasa hormat terhadap waktu dan ruang komunitas.
Dalam perkembangannya, Sasana Kayau Pulang yang sakral mengalami perubahan nama menjadi Sasana Kayau. Nyanyian ini dikenal luas di daerah aliran Sungai Katingan dan diperuntukkan untuk memberikan nasihat, mengantar arwah yang telah meninggal, dan berbagai ritual lainnya.
Dalam penelitian saya, saya menyaksikan langsung bagaimana Sasana Kayau berfungsi sebagai medium "penyembuhan."
Salah satu momen yang membekas adalah ketika Pak Betut dari Desa Talangkah menyanyikan Sasana Kayau di depan makam keponakannya yang meninggal karena tenggelam pada hari sebelumnya.
Syair itu ia gubah secara spontan, ditujukan khusus kepada arwah sang keponakan. Dalam bait-baitnya, Pak Betut menyebut keponakannya sebagai "satu set gandang ahung yang nadanya tak bisa sumbang":
"Gawi-e ngingat nganang behin usang ma aken rengan tingang, puna je pajak pasang kilau ahung gandang je dia pandai sumbang, je jadi munduk hatalumbang nutung nak anding salendang tewun tihang."
"Keponakanku, mengenangmu bagai satu set Gandang Agung yang tak mungkin sumbang, sebab saat kita semua berkumpul kelak, kita akan duduk bersila bersama, menghangatkan malam dengan baram, menyalakan kembali gema yang telah padam."
"Tapi nah ikau tuh ambun andau jituh nah jari halisang petak nulak bara danum nukang malihi batang danum injam tingang."
Namun hari ini, engkau telah menjadi cahaya yang pergi, meninggalkan dunia ini, seperti bara yang padam disapu air sungai yang mengalir pelan, membawa batang hidupmu yang hanyut.
"Lihi garing dehang muh bitang Indang Ses utang mu rengan tingang je nule ngumang bulan bitang mu aken rengan tingang."
"Kini engkau telah jauh, meninggalkan istrimu, Ibu Ses, dan anakmu yang hatinya remuk menatap malam tanpa bulan, langit tanpa bintang, rumah tanpa nyanyian."
Read more: Tradisi Gandang Ahung suku Dayak: Tak hanya musik tapi juga cara hidup
Pertunjukan ini bukan tontonan tapi komunikasi dengan dunia arwah, bentuk terapi kolektif, dan upacara duka yang melampaui kata-kata. Banyak anggota keluarga yang menangis, bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga karena bagaimana kata itu dinyanyikan dalam bahasa khusus Sasana Kayau -yang mengingatkan mereka pada suara-suara leluhur.
Tak heran bila Sasana Kayau dianggap sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Dalam upacara kematian besar Suku Dayak seperti tiwah, nyanyian ini menjadi salah satu komponen utama upacara. Ia tidak hanya mengiringi pemindahan tulang belulang jenazah, tetapi juga membuka ruang spiritual bagi arwah untuk pulang dengan damai ke alam selanjutnya.
Beberapa pelantun Sasana Kayau yang saya temui, seperti Babak dari Desa Tewang Rangkang atau almarhum Herwandi dari Desa Tewang Manyangen Tingang, mengaku bahwa jumlah penutur aktif semakin menurun.
Anak-anak muda Suku Dayak lebih tertarik bermain gawai, dan tak banyak yang mau mencoba menuturkan bait-bait panjang khas sasana kayau yang sulit dimengerti.
Bahkan, beberapa pelantun seperti almarhum Kiris, seorang maestro Sasana Kayau yang mempunyai suara khas dari Tumbang Panggu, telah meninggal dunia sebelum sempat menurunkan seluruh keahliannya.
Untungnya, komunitas Desa Tumbang Panggu dan desa-desa lainnya di hilir Sungai Katingan berinisiatif mengajarkan kembali Sasana Kayau dalam konteks pendidikan adat.
Dalam beberapa ritual, anak-anak diajak ikut sebagai asisten pelantun, mengisi ngawus, yaitu bagian syair isian yang mengisi jeda antar bait utama. Di sini, regenerasi bukan datang dari kurikulum formal, tapi dari kedekatan emosional dan partisipasi spiritual.
Di era arsip digital dan kecerdasan buatan, kita mudah percaya bahwa semua pengetahuan bisa disimpan, dicari, dan direplikasi. Namun, Sasana Kayau milik Suku Dayak membuktikan bahwa ada bentuk pengetahuan yang hanya bisa diwariskan melalui tubuh, suara, dan relasi sosial.
Lebih jauh, Sasana Kayau menantang cara negara dan institusi formal memahami pelestarian budaya. Ia mungkin bisa dimuseumkan, dilabeli, atau dijadikan sebuah "proyek" identitas. Namun, ia hanya bisa hidup jika komunitas pendukungnya juga hidup.
Artinya, dukungan terhadap kebijakan budaya seharusnya tidak lagi terpaku pada logika ekonomi kreatif atau destinasi wisata. Ia butuh ruang untuk tumbuh dari akar komunitasnya sendiri, bukan dibentuk oleh panggung-panggung luar yang menilainya dari nilai tukar dan jumlah penonton.
Get a daily dose of Massachusetts Sun news through our daily email, its complimentary and keeps you fully up to date with world and business news as well.
Publish news of your business, community or sports group, personnel appointments, major event and more by submitting a news release to Massachusetts Sun.
More InformationZAGREB, Croatia: A massive concert by popular Croatian singer Marko Perković, known by his stage name Thompson, has drawn widespread...
WASHINGTON, D.C.: Elon Musk's entry into the political arena is drawing pushback from top U.S. officials and investors, as his decision...
CULVER CITY, California: TikTok is preparing to roll out a separate version of its app for U.S. users, as efforts to secure a sale...
WASHINGTON, D.C.: President Donald Trump claimed he was unaware that the term shylock is regarded as antisemitic when he used it in...
PARIS, France: A strike by French air traffic controllers demanding improved working conditions caused significant disruptions during...
OMAHA, Nebraska: With Congress considering cuts totaling around US$1 trillion to Medicaid over the next decade, concerns are rising...
NEW YORK, New York - U.S. and global markets showed a mixed performance in Tuesday's trading session, with some indices edging higher...
PARIS, France: French military and intelligence officials have accused China of orchestrating a covert campaign to damage the reputation...
NEW DELHI, India: Birkenstock is stepping up its efforts to protect its iconic sandals in India, as local legal representatives conducted...
HONG KONG: China has fired back at the European Union in an escalating trade dispute by imposing new restrictions on medical device...
NEW YORK, New York - Monday's trading session saw mixed performances across U.S. and global markets, with several major indices posting...
WASHINGTON, D.C.: The U.S. government has granted GE Aerospace permission to resume jet engine shipments to China's COMAC, a person...